Biografi Tokoh Pewayangan: Bagawan Drona atau Dorna

Dronacarya


Drona atau Dronacarya (Dewanagari: द्रोणाचार्य: Droṇācārya; arti harfiah: "Guru Drona") adalah salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang brahmana (ahli agama), suami Krepi, dan ayah Aswatama. Ia dikisahkan sebagai guru keraton Hastinapura yang mendidik para pangeran Dinasti Kuru, yang terdiri dari seratus Korawa dan lima Pandawa. Sebagai guru para pangeran, ia merupakan ahli seni pertempuran, termasuk pengendalian dewāstra (senjata sakti). Di antara para pangeran Kuru, Arjuna adalah murid kesayangannya.


Saat konflik antara Korawa dan Pandawa tak dapat didamaikan, mereka memutuskan untuk berperang, dengan lapangan Kurukshetra sebagai medannya. Dalam perang Kurukshetra, Drona berpihak kepada Korawa, yang telah memberinya nafkah dan tempat bernaung. Setelah Panglima Bisma kalah, ia menjabat sebagai panglima pada hari ke-11 sampai ke-15. Pada hari ke-15, ia mendengar kabar palsu tentang kematian putranya, sehingga semangat bertarungnya pupus dan memutuskan untuk bermeditasi. Dalam kondisi tersebut, kepalanya dipenggal oleh Drestadyumna, panglima laskar Pandawa.


Riwayat

Dalam kitab Adiparwa dikisahkan bahwa Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putra dari pendeta Bharadwaja. Kisah kelahiran Drona diceritakan secara dramatis dalam Mahabharata. Dikisahkan bahwa Bharadwaja pergi ke sungai Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari Gretaci yang sangat cantik sedang mandi. Menyaksikan pemandangan tersebut, sang pendeta dikuasai nafsu, sampai mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia menampung air mani tersebut di dalam sebuah bejana. Dari cairan tersebut, tumbuhlah sebuah janin, yang kian berkembang hingga membentuk seorang bayi. Bayi tersebut kemudian dibesarkan dan diberi nama Drona.


Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu muda bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan, dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Dalam perjalanannya mencari Sucitra (Drupada), ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir apabila ada seorang kesatria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.


Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah patih di Hastinapura saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sakti, ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena). Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Sentanu (Pandawa dan Korawa).


Dalam perang Bharatayuddha, Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Korawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada. Menurut cerita pewayangan, kematian Resi Drona diakibatkan oleh dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya merasuki tubuh Drestadyumena. Namun menurut Mahabharata, kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang resi.


Versi Lain

Drona dalam pewayangan Jawa

Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sanskerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan versi pewayangan. Dalam pewayangan, Resi Drona diceritakan sebagai orang yang berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Korawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).


Akhir Kisah

Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putra Bagawan Drona. Bima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" - "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.


Dalam Versi lain dikisahkan Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumna.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url