Imam Bonjol |
Biografi Imam Bonjol Singkat/Lengkap
Tuanku Imam Bonjol
Biografi Imam Bonjol
Muhammad Shahab adalah nama aslinya. Beliau lahir di daerah Bonjol, Sumatra Barat pada tahun 1772 M. Beliau lahir dari pasangan bahagia di daerahnya. Ayahnya bernama Bayanuddin dan ibunya Hamatun. Ayahnya merupakan seorang yang masyhur dengan Sayyid Khatib Bayanuddin. Ayahnya merupakan seorang alim ulama’ yang berasal dari Sungai Rimbang, Lima Puluh Kota.
Dia dibesarkan dalam keluarga yang memegang erat tradisi Minang. Sejak muda, Muhammad Shahab sudah mempelajari ilmu agama dari kedua orang tuanya secara langsung. Yang mana keduanya merupakan salah satu ulama’ dan seorang yang ditokohkan oleh masyarakat setempat.
Selain itu, beliau juga memperoleh ilmu-ilmu agama secara lebih mendalam dari pesantren-pesantren dan berguru pada ulama’-ulama’ ternama di Sumatera. Dari guru-gurunya ini beliau mendalami ilmu tasawuf, fiqih, studi Al-Qur’an, dan dalil-dalil keagamaan seperti Sunnah dan kalam ulama’ lainnya. Sembari belajar agama, Muhammad Shahab juga rutin mengadakan pengajian dan menjadi pembicara di masyarakat lingkungan rumahnya.
Semasa hidup beliau memiliki sekali gelar yaitu: Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Terkait gelar Tuanku Imam ini, diperoleh dari salah seorang pejuang dan pemimpin dari Harimau Nan Salapan yaitu Tuanku Nan Renceh Agam dari Kamang. Muhammad Shahab ditunjuk menjadi seorang pemimpin (Imam) bagi kaum Padri di Bonjol. Dari sinilah, beliau dikenal hingga masyhur di kalangan umum Indonesia, sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Dari sosok Tuanku Imam Bonjol dapat kita fahami sebagai tokoh yang dihormati, disegani, panutan masyarakat daerah dan Indonesia. Ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengabdikan diri pada negara dan agama Islam. Tuanku Imam Bonjol adalah Ulama’, Pemimpin dan Pejuang kemerdekaan Indonesia dan Aqidah Islam.
Beliau dikenal sosok alim dalam banyak fan keilmuan. Baik ilmu agama maupun ilmu politik dan pemerintahan yang beliau dapat dari berbagai gurunya.
Riwayat Perang Padri dari Tuanku Imam Bonjol
Dalam berbagai literatur yang telah kami telaah, jarang sekali diungkit secara mendalam terkait perang ini. Namun disini kami tidak akan mengungkap hal tersebut. Kami akan semoderat mungkin mengungkap sepak terjang Tuanku Imam Bonjol di Indonesia dan dunia Islam.
Tak heran jika kemudian Muhammad Shahab dijadikan menjadi seorang Imam atau pemimpin bagi kaum Padri di Bonjol. Gelar tersebut diperolehnya dari hasil tunjuk salah seorang pejuang dan pemimpin dari Harimau Nan Salapan yaitu Tuanku Nan Renceh Agam dari Kamang. Dari segi sejarah Indonesia dan sejarah Islam di Indonesia, Tuanku Imam Bonjol ini menjadi pelopor dan pejuang di Perang Padri. Berikut adalah rekam jejak perang padri di Indonesia.
“Perang Padri timbul pertama kali didasari akibat pergesekan pendapat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat”.
Kaum Padri ini adalah kaum yang dipelopori ulama’ di Kerajaan Pagaruyung yang berfaham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Sedangkan Kaum Adat adalah golongan yang masih memegang teguh tradisi-tradisi lama yang jauh bertolak belakang dengan ajaran islam, melakukan hal-hal yang dilarang agama Islam. Seperti Bid’ah yang tak berlandaskan hukum, sabung ayam, judi, minum minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal ini kaum adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Agung Sultan Arifin Muningsyah Kerajaan Pagaruyung.
Timbul perang padri awal ini antara ulama’ dengan masyarakat adat, bermula ketika salah satu ulama’ yang tergabung dengan Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau agar bersedia mengajak Yang Dipertuan Agung Sultan Arifin Muningsyah dari Kerajaan Pagaruyung beserta masyarakat adat umum menghentikan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan Islam.
Permintaan ini diawali dengan damai pada awalnya yaitu negosiasi, tapi pada tahap selanjutnya ternyata negosiasi tersebut tidak mampu menghasilkan sebuah kesepakatan sama sekali. Mulai bergejolaklah Kerajaan Pagaruyung. Akhirnya kalangan Kaum Padri (ulama’) menyerang Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1815. Perang akhirnya tak mampu terelakkan lagi. Bergejolak besar hingga keseluruhan para pemimpin kerajaan Pagaruyung luluh lantak. Kemudian dari pertempuran ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah mengungsi ke ibukota kerajaan Lubuk Jambi.
“Ternyata perang tidak usai begitu saja. Perang baru akan muncul selanjutnya yaitu “Perang Antar Golongan Ulama’ Melawan Gabungan Kelompok Adat dan Belanda”.
Entah bagaimana bisa terjadi seusai kekalahan telak Kelompok Adat, memaksa mereka meminta bantuan dan menjadikan Belanda sebagai pelarian mereka. Kerjasama Kelompok atau Kaum adat dengan Belanda secara resmi pada tanggal 21 Februari 1821 M.
Pada hari itu perjanjian kerjasama antara Belanda dan Kaum Adat benar-benar resmi berjalan. Perjanjian dilakukan di Padang. Kompensasi dari membantu Kaum Adat, Belanda meminta Kerajaan Pagaruyung untuk memberikan hak akses dan keluasaan baginya untuk bisa menduduki wilayah Darek. Ketika masa perjanjian saat itu dihadiri juga keluarga kerajaan Pagaruyung yaitu Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Keikutsertaan Belanda dalam Perang Padri ini semakin tampak saat mereka mulai berani melakukan penyerangan Simawang dan Sulit Air Bawah yaitu di pimpin oleh tim Kapten Goffinet dan Kapten Dienema atas perintah dari Residen James Du Puy di padang tepat tahun 1821 M.
Gigih dan tak kenal lelahnya perlawanan yang dilakukan Imam Bonjol bersama pasukan kepada Belanda mengakibatkan mereka mengalami kerugian yang besar. Sebagian besar pasukan di Sumatera mulai berkurang dan minim. Daerah lain pun semakin mengikuti jejak Imam Bonjol, seperti perang yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro. Belanda terpaksa mundur dan menyerah.
Lalu mereka bersiasat dengan bermuka dua, yaitu mengadakan perjanjian damai dengan Kaum Padri. Perjanjian ini dinamakan dengan Perjanjian Masang pada tahun 1824 M.
Namun usut punya usut ternyata perjanjian Belanda dengan Kaum Padri hanya dimanfaatkan dan tipu daya belaka semata. Belanda mengingkari perjanjian dan mengakhiri perjanjian secara sepihak. Perjanjian mulai berani Belanda langgar, ketika penyerangan Pangeran Diponegoro saat itu juga mampu diakhiri Belanda.
– Dari kekecewaan dan pengkhianatan Belanda pada Kaum Adat, maka tersulutlah Perang Baru yaitu “Perang gabungan antara Kaum Adat dengan Kaum Padri (Ulama’) dengan Belanda”.
Akibat dari licik dan piciknya Belanda, Kaum Adat merasa harus menelan ludah yang telah dibuang, yaitu merasa alhasil menyadari dan menyesali bahwa mereka selaku Kaum Adat agar berdamai dengan Kaum Padri. Selain itu Kaum Adat sadar perang saudara selama 18 tahun tersebut telah menyengsarakan rakyat Minang.
Muncullah inisiatif baru bagi mereka untukkembali menjabat tangan Kaum Padri bersatu mengusir Belanda dari dataran Minang. Kemudian muncullah semangat juang bersama lagi untuk betul-betul mengusir Si Biadab Penjajah-Belanda tersebut.
Ditandai dengan adanya kompromi bersama untuk bersatu antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di daerah Tabek Patah. Dari hasil kompromi tersebut menghasilkan sebuah konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat berjalan dan berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah Al-Qur’an dan Sunnah).
Dengan berbekal pasukan berkekuatan penuh, berdasar catatan sejarah dari kekuatan Belanda saat itu, pasukan Belanda berjumlah 148 orang perwira Eropa, 36 orang perwira Pribumi, 1.103 orang tentara Eropa , 4.130 orang tentara Pribumi dan kemudian ditambah dengan Sumenapsche Hulptroepen Hieronder Begrepen (Pasukan Pembantu Sumenep, Madura).
Tim Belanda saat itu dipimpin oleh Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu; Van derTak, Mayor Sous, Pembantu Letnan Satu; Steinmetz, dan masih banyak yang lain. Dan kemudian diketahui ada nama-nama dari Inlandsche (Pribumi) seperti Kapten Noto Prawiro, Letnan Prawiro di Logo; Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Merto Poero dan Prawiro Brotto.
Sedangkan dari pasukan Gabungan Kaum Adat dan Kaum Padri saat itu dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Ulama’ di benteng pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Belanda mulai mengawali penyerangan ke berbagai arah dari Pertahanan Ulama’ di Benteng Bonjol selama kurang lebih enam bulan.
Belanda semakin gencar menyerang, membabi buta dan terus mendatangkan pasukan tambahan dari Batavia. Terhitung sampai pada tanggal 20 Juli 1837 M. Pasukan tambahan Belanda tiba dengan menggunakan Kapal Perle di Padang. Hadir pula bersama kapal saat itu Kapten Sinninghe bersama sejumlah pasukan dari Eropa dan Afrika, 1 Sersan, 4 Kopral, dan 112 Plangkers/Flangkeurs.
Pasukan tambahan yang berasal dari Afrika, belakangan diketahui bahwa Belanda saat itu juga menduduki Benua itu. Afrika yang dimaksud saat itu kini menjadi Negara mandiri Ghana dan Mali. Pasukan yang berasal daari Afrika ini kemudian dikenal sebagai Sepoys dan ikut dinas dengan tentara Belanda.
Perang Padri Berakhir
Dari tambahan yang membabi buta dan di luar nalar tersebut, alhasil mampu mengakibatkan pasukan Imam Bonjol (Benteng Bonjol) runtuh dan dikuasai oleh Belanda. Akan tetapi para pemimpin dan pejuang Padri melarikan diri ke hutan dan tidak sudi untuk betekuk lutut di hadapan Belanda.
Karena Belanda merasa Imam Bonjol jika tetap dibiarkan maka kemudian hari akan balik melawan. Akal licik kembali mereka kerahkan untuk menangkap Imam Bonjol dan pasukan Padri lainnya. Dengan iming-iming mengajak berdamai dan hendak berkonsultasi pada Imam Bonjol. Imam Bonjol diundang ke Palupuh pada bulan Oktober tahun 1837. Namun, sialnya Imam Bonjol mengiyakan dan terjebaklah ia disana. Sesampainya Imam Bonjol ke tempat tersebut, tiba-tiba dikepung, ditangkap dan kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian, Imam Bonjol dipindahkan lagi menuju pengasingan yang lain, ke Ambon, Maluku. Dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, Manado, Sulawesi. Disinilah Allah SWT, menjemput dan sudah cukup rindu dengannya maka ia meninggal di pengasingan Lotak, Minahasa pada 8 November 1864 M. Diusianya yang ke-92 tahun. Hingga saat ini lokasi makam masih ada dan ramai peziarah.
Eksplorasi konten lain dari BIOGRAFI
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Komentar